Fachri Chairozi
24202011004
Media dan Gender | Mahasiswa Magister UIN Sunan Kalijaga
SUARAACEH.ID --- Industri film telah berkembang pesat di bumi Nusantara dalam beberapa dekade terakhir, baik dalam jumlah produksi maupun jumlah keberagaman genre yang ditayangkan, namun sangat disayangkan ketimpangan gender masih menjadi isu pahit yang patut diperhatikan oleh bersama. Representasi perempuan dalam taraf nasional masih sarat akan sterotipe, Sementara itu, keterlibatan perempuan di balik layar dalam peran-peran kunci seperti sutradara, produser, dan penulis skenario masih tergolong minim. Ketimpangan ini menegaskan bahwa media belum sepenuhnya menjadi arena emansipasi, tetapi justru memperkuat relasi kuasa yang timpang antar gender. Akibatnya, industri film Indonesia tidak hanya mencerminkan ketidakadilan gender, melainkan turut membentuk dan melanggengkan narasi sosial yang bias terhadap perempuan.
Representasi Perempuan Di Layar
Stuart Hall dalam teori representasinya menggambarkan bagaimana media tidak hanya mencerminkan realitas tetapi juga membentuknya menjadi kontruksi sosial di masyarakat. Representasj perempuan dalam film Indonesia seringkali terjebak dalam sterotipe yang sempit, semisal film Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss Part 1 yang menjadi film favorit ke empat dengan jumlah penonton terbanyak di Indonesia yang menampilkan perempuan sebagai objek seksual dengan pakaian minim dan seksi namun peran perempuan dalam alur cerita seringkali tidak signifikan (Maghfira, 2021). Ironisnya dalam banyak film di Indonesia perempuan diposisikan sebagai objek pandangan laki-laki baik dalam bentuk visual maupun dalam narasinya, sehingga perempuan dalam konteks ini hanya dijadikan sebagai pemanis cerita dan bukan karakter utamanya. Bahkan film animasi Jumbo yang sedang viral saat ini juga turut mereproduksi narasi tentang perempuan sebagai makhluk lemah. Hal ini tergambar melalui sosok hantu perempuan yang digambarkan selalu membutuhkan pertolongan, sehingga mencerminkan bagaimana representasi perempuan dalam media masih didominasi oleh stereotip yang menempatkan perempuan dalam posisi pasif dan tidak berdaya. Indonesia masih sering terjebak dalam stereotip dan peran yang sangat pasif. Penelitian Andriani (2025) menunjukkan bahwa meskipun ada upaya untuk menampilkan perempuan dalam peran yang lebih kuat dan multidimensional, stereotip tradisional masih dominan dalam film Indonesia, pola ini terlihat dalam berbagai produksi yang menampilkan perempuan dengan fokus pada aspek fisik dan sensualitas, bukan pada peran atau kontribusi mereka dalam narasi. Hal ini tidak hanya memperkuat pandangan patriarkal, tetapi juga membatasi ruang bagi perempuan untuk tampil sebagai subjek yang aktif dan kompleks di layar.
Perempuan Di Balik Layar
Cici (2009) mengatakan bahwa proporsi perempuan dibandingkan dengan laki-laki dalam pembuatan film (khususnya sutradara film laki-laki) terbukti berpengaruh secara signifikan terhadap representasi perempuan. Seberapa positif perempuan direpresentasikan di dalam teks film tergantung pada seberapa besar proporsi perempuan dalam pembuatan film. Jika ditelusuri lebih mendalam ketimpangan ini terlihat begitu nyata, sebagaimana dikutip dari data lembaga KAFEIN ( Asosiasi Pengkaji Film Indonesia) menunjukkan bahwa keterlibatan perempuan dalam posisi kunci produksi film tidak lebih dari 20 % dari total yang dibutuhkan serta jumlah perempuan penerima penghargaan dalam ajang Festival Film Indonesia sejak tahun 1955 juga tercatat hanya sekitar 8% (Reka, 2022). Hal ini selaras dengan data posisi kunci dalam dunia film di Indonesia, misalnya, jumlah sutradara dalam dekade 2010-2020 sebanyak 1090 orang dan sutradara laki-laki mendominasi sebanyak 966 orang sementara jumlah sutradara perempuan sebanyak 124 orang, sehingga dari data tersebut kita melihat ketimpangan yang sangat signifikan (Sazkia, 2021). Jika berpindah dalam penulis skenario, peran perempuan lebih konsisten menunjukkan keterlibatannya, namun pada periode yang sama keterlibatan perempuan hanya berkisar 32% dibandingkan laki-laki. Sementara dalam profesi teknis seperti pengarah sinematografi peran perempuan masih sangat rendah, sebagaimana data yang dikumpulkan KAFEIN Pada tahun 2019, hanya ada 16 pengarah sinematografi perempuan dibandingkan dengan 133 laki-laki pada tahun 1977, hal ini menunjukkan bahwa peran-peran teknis dalam industri film masih didominasi oleh laki-laki. Meskipun demikian jumlah perempuan yang menempuh pendidikan di bidang perfilman cukup signifikan, namun banyak dari mereka yang tidak melanjutkan karier di industri ini. Penyebabnya ada beberapa faktor seperti kurangnya dukungan, diskriminasi gender, dan minimnya akses terhadap jaringan profesional menjadi hambatan utama bagi perempuan untuk berkembang dalam industri film.
Tantangan dan Budaya
Sutradara Nita dalam wawancaranya menyebutkan bahwa tantangan utama yang dihadapi oleh perempuan dalam industri film ialah budaya kerja yang tidak ramah akan gender, ia menyebutkan bahwa ruang pendidikan film baik formal maupun in formal masih didominasi oleh laki-laki sehingga hal ini menyulitkan perempuan dan kelompok lainnya untuk mendapatkan pendidikan yang setara dengan mereka para laki-laki (Intan, 2022). Bahkan sutradara Mouly Surya juga mengungkapkan hal senada di mana ia pernah menghadapi resistensi dari kru film yang tidak nyaman dipimpin oleh perempuan, hal ini menunjukkan adanya bias gender yang masih kuat di industri film, Selain itu, isu pelecehan seksual dan kurangnya perlindungan hukum bagi pekerja perempuan di industri ini menjadi masalah serius yang perlu segera ditangani. Kondisi kerja yang tidak ramah gender, seperti jam kerja yang panjang tanpa regulasi yang jelas, juga menjadi hambatan bagi perempuan untuk berkarier di industri film. Hal ini diperparah dengan kurangnya representasi perempuan dalam posisi kepemimpinan dan pengambilan keputusan, yang menyebabkan perspektif dan kebutuhan perempuan sering kali terabaikan dalam proses produksi film di Indonesia
Menuju Industri Film Yang Inklusif Dan Setara Gender
Upaya untuk mengatasi ketimpangan gender bukanlah hal yang mudah dan cepat namun membutuhkan sikap konsisten, kolektif dan liktas sektor, hal ini disebabkan ketimpangan tersebut telah mengakar dalam ranah industri di Indonesia. Ada beberapa langkah dan strategi yang mestinya diperhatikan agar ketimpangan gender diselesaikan hingga ke akar permasalahannya. Langkah pertama ialah peningkatan jumlah akes perempuan untuk terjun ke ranah produksi film yang mencakup keterlibatan mereka dalam posisi inti, akses ini dapat memberikan dampak positif dalam memberikan ruang aman terhadap peran perempuan dalam industri film di Indonesia. Pendidikan dan pelatihan dapat dijadikan sebagai pondasi kedua dalam membangun kesetaraan gender, banyak perempuan yang berminat terjun dan aktif dalam dunia film namun kurangnya fasilitas dan role model perempuan menjadi hambatan yang serius. Langkah selanjutnya yang tidak kalah penting ialah perubahan harus menyentuh ranah narasi sehingga representasi perempuan di dalam layar harus bergerak dari sterotipe yang sempit menuju potret yang bebas, komplek dan beragam. Pada akhirnya, membangun industri film yang setara gender bukan hanya soal kuota atau angka statistik, melainkan soal keadilan kultural yang menyentuh inti kehidupan sosial kita. Perempuan sebagai setengah dari populasi memiliki hak penuh untuk bercerita, disuarakan, dan menentukan arah industri budaya. Bilamana media adalah cerminan dari masyarakat maka kita harus memecahkan cermin patriarki dan membentuk cermin refleksi baru dalam membangun kesetaraan gender yang adil dan bermarIndonesia.
Andriani, R. (2025). Representasi Perempuan dalam Film Indonesia. Harakat An-Nisa: Jurnal Studi Gender Dan Anak, 9(2), 63–70. https://doi.org/10.30631/92.63-70
Cici Eka Iswahyuningtyas. (2009). Proporsi Dan Representasi Perempuan Dalam Mainstream Film Perempuan. Komunikologi Jurnal Ilmiah Ilmu Komunikasi, Vol 6, No 2.
Intan Setiawanty. (2022, October 15). Nia Dinata Ungkap Upaya untuk Tingkatkan Peran Perempuan di Industri Film.
Maghfira Fitra Yuliantini. (2021). Ketimpangan Gender di Layar Perak: Representasi Perempuan di Film Terlaris Indonesia . UMBARA Indonesian Journal of Anthropology , Vol.6 (2 ).
Reka Kajaksana. (2022). Problem Gender di Industri Film: Minim Jumlah Perempuan, Minim Yang Terima Penghargaan. Jakarta.
Sazkia Noor Anggraini, Rahayu Harjhanti, & Tito Imanda. (2021). Menuju Kesetaraan Gender Perfilman Indonesia. Magelang: Asosiasi Pengkaji Film Indonesia.

